Senin, 14 April 2008

edisi 18

Epitaf

Seorang pengemis sedang sekarat di gubuk kumuh
mengumpulkan tenaga terakhir menyapa tamunya :
Hai penyair mengapa kau ke sini
Penyair itu menjawab :
Aku lapar maka aku mencarimu
Pengemis itu mencoba tersenyum, lalu
bertanya lagi :
Sepertinya kau habis menempuh perjalanan jauh
Iya aku sangat haus maka aku mencarimu
Wajah pengemis itu berseri, katanya lagi
Adakah di sini bisa melunasi keinginanmu
Penyair itu menjawab dengan hati lapang :
Aku telah mencari kemanamana tapi tak bersua
malah aku tersesat kesebuah pesta meriah
Pengemis itu kemudian diam abadi
senyumnya lebih dari merkah bunga kemboja
dan semerbak kemanamana

Dan penyair itu menulis sebuah epitaf
tentang betapa agungnya tuhan di sini

banjarbaru, 1979


Serunai

di atas jembatan antasari
tibatiba serunai menghanyutkan aku
ke sungai martapura dan tenggelam ke dasarnya

datunini di sini telah menjadi legenda
karena anakcucu tak pernah lagi merisalahkan
adat pusaka dalam kehidupan banua babangsa

serunai terus mengalun sampai ke rerumpun ilung
yang gelisah dan terbatabata di tengahtengah
ratik arus zaman
di antara gemerlap lampulampu merkuri di tepian
aku merindukan kelapkelip pelita di lantinglanting
mengapung menyentuh kalbu

banjarbaru, 1980

* datunini : nenek moyang
ilung : enceng gondok
ratik : sampah
lanting : rumah terapung/rumah di atas sungai


Renjana

jangan ada rahasia lagi
desau pinus itu
selalu membawaku ke sana
dan berulangkali debar
tak mampu menyimpan namamu dalam lipatan

maka jangan ada rahasia lagi
mengapa aku teramat letih
ketika puput itu membawa pergi tangisan kecil
dan aku begitu tolol
kehilangan jejak dalam diriku sendiri

aku belajar memahami tebaran mega
dan dalam katupan mata menatap kelopak usia
yang rontok di kaki senja
sesampainya di sana aku berkaca dalam rindu
membuka jendela rahasia

banjarbaru,1980

Tidak ada komentar: